Senin, 16 Desember 2024
Jumat, 12 Juli 2024
IMPLEMENTASI KEPEMIMPINAN TEKNOKRATIK : PENJABAT KEPALA DAERAH
![]() |
Sumber : PNGFree |
Imbas dari diselenggarakannya Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 dengan termasuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak, menyebabkan
adanya kekosongan jabatan Kepala Daerah kurun waktu 2022-2024. Kekosongan
jabatan Kepala Daerah tersebut diisi oleh Penjabat Kepala Daerah yang berasal
dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ditunjuk oleh Presiden melalui Kementerian
Dalam Negeri (kemendagri) untuk Jabatan Penjabat Gubernur, sementara Gubernur
dapat mengusulkan nama Penjabat Bupati/Walikota akan tetapi tetap atas
persetujuan Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri. Menurut Usman (2022) aturan
untuk mengisi Penjabat Kepala Daerah menggunakan Pasal 201 Ayat (9) UU nomor 10 tahun 2016 yang telah
disempurnakan menjadi UU Nomor 6 tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota. Pasal 201 Ayat (9) menyebutkan, para penjabat gubernur, bupati
dan Wali Kota hingga terpilihnya kepala daerah definitive melalui pemilihan
serentak pada 2024. Selanjutnya pada Ayat (10) menyatakan, bahwa untuk mengisi
kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tertinggi
madya sampai dengan pelantikan. Berikutnya pada Ayat (11) menyatakan, untuk
mengisi kekosongan jabatan bupati/Wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota
yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan
bupati/wali kota.
Pengangkatan Penjabat Kepala
Daerah dari kalangan Aparatur Sipil Negara ini tentu menimbulkan polemik
terutama dari aspek demokrasi dan lemahnya partisipasi publik daerah dalam
penunjukan Penjabat Kepala Daerah. Sebagaimana menurut Firman Nugraha (2022) tujuan
asasi dari penyelenggaraan otonomi daerah tiada lain adalah sebagai Upaya demokratisasi,
dimana pemerintahan menempatkan lokalitas aspirasi dan layanan publik untuk
lebih direkatkan relasinya, antara pemberi mandat (rakyat) dengan penerima
mandat (pemerintah daerah). Sementara menurut Furaihan Kamyl Arnazaye, dkk.
(2023) paling tidak terdapat tiga hal yang menyebabkan sistem pemilihan Penjabat
Kepala Daerah saat ini masih belum menjamin hak sosial masyarakat dan kebebasan
berpolitik, yakni (1) legitimasi yang lemah, (2) pengaturan kewenangan yang
masih berserak, dan (3) belum terjaminnya Penjabat Kepala Daerah yang terpilih
netral dari kepentingan politik.
Terlepas dari polemik
pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dari kalangan Aparataur Sipil Negara
khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan pimpinan tinggi
(madya/pratama), dalam implementasinya perlu dilakukan kajian bagaimana seorang
teknokrat memimpin sebuah pemerintahan daerah. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana
dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatus Sipil Negara adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN
secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan
pemerintahan. Secara jelas dalam pengertiannya PNS merupakan pegwai yang
diangkat dengan syarat tertentu dan harus memiliki kompetensi paling tidak
kompetensi manajerial dan kompetensi teknis dalam menunjang penyelenggaran
pemerintahan. Kompetensi ini menunjukan bahwa PNS merupakan seorang teknokrat yang
dalam memutuskan suatu hal atau kebijakan harus berlandaskan atas kajian ilmiah
atau dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknokratik.
Diampunya sebuah jabatan
politik oleh seorang teknokrat tentu akan memiliki implikasi yang bisa jadi positif
maupun memberikan dampak negatif. Selain itu tentu akan memberikan corak atau
gaya kepemimpinan yang berbeda dari seorang kepala daerah yang berasal dari
unsur politik. Sebagaima Coen Husain Pontoh (2006) memberikan contoh gambaran
dua gaya kepemimpinan tersebut dari dua tokoh pemimpin bangsa Soekarno dan
Hatta. Coen menilai bahwa Soekarno lebih dekat dengan gaya kepemimpinan politik
sementara Hatta lebih dekat dengan gaya kepemimpinan teknokratik. Pada tipe
kepemimpinan politik, para pemimpin lebih menekankan pada ide, visi, dan
semangat. Kemerdekaan Indonesia diraih bukan karena orang Indonesia kala itu
telah banyak yang pintar, tapi karena orang Indonesia yang sebagian besar masih
bodoh memiliki semangat yang besar untuk merdeka. Semangat untuk merdeka, harga
diri yang terhina akibat penjajahan, semangat untuk maju dan sejajar dengan
bangsa lain yang telah maju, merupakan senjata utama untuk merdeka dan mengisi
kemerdekaan. Ini tercermin dari slogan Bung Karno, revolusi belum selesai. Sebagai
dampaknya, kepemimpinan jenis ini kurang peduli pada hal-hal yang bersifat
detail dan konkrit, yang justru menjadi ciri utama kepemimpinan teknokratis.
Bung Karno menyindir kepemimpinan tipe administrator ini sebagai Textbook
Thinking. Padahal berpikir secara metodologis, ketat pada logika ilmiah,
merupakan ciri utama kepemimpinan teknokratis. Ciri lain dari kepemimpinan
teknokratis adalah bagaimana ide-ide besar itu bisa diterapkan dalam lapangan
praktis. Revolusi sudah selesai, demikian tutur Bung Hatta, sekarang saatnya
untuk mewujudkan cita-cita revolusi dalam bentuk yang konkrit, yang riil.
Misalnya, bagaimana membangun negeri yang baru merdeka itu dalam kondisi
keuangan negara yang terbatas, bagaimana menanggulangi kelebihan personel dalam
tubuh Angkatan Bersenjata, bagaimana menanggulangi inflasi, dst.
Secara ideal, sebuah
pemerintah yang menjalankan kebijakan publik haruslah dibentuk atas dasar
ilmiah, tuntunan ilmu pengetahuan, dibangunnya sistem, tata aturan dan desain
teknis agar mudah diimplementasikan. Akan tetapi pemerintahan juga merupakan
organisasi yang memimpin dan mengatur sekolompok manusia yang memerlukan ide,
visi dan semangat yang dapat menyatukan semua entitas sehingga saling bahu membahu
dan mau hidup dalam komunitas Bersama. Maka penting sebetulnya sebuah
pemerintahan dipimpin oleh seseorang yang memiliki kapasitas teknokratik dan
politik sekaligus. Maka kita perlu menguji bagaimana implementasi para
teknokrat yang sudah memimpin daerah dalam menjalankan tugasnya secara kaidah teknokratik
yang ilmiah dan berdasar, serta apakah mampu kepemimpinan dijalankan dengan tetap
mempertibangkan aspirasi local di daerah. Sehingga kita dapat menilai
efektivitas gaya kepemimpinan seorang teknokrat dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah dengan tanpa adanya kepentingan politik atau keberpihakan terhadap kelompok
tertentu, sehingga mampu menciptakan Pembangunan yang lebih merata. Sebagaimana
menurut Firman Nugraha (2022) desain otonomi daerah diwujudkan dalam Upaya untuk
mendorong terciptanya kesejahteraan secara lebih merata.
PENJABAT KEPALA DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah merupakan
salah satu amanat reformasi sebagai antitesa pemerintahan sentralistik era orde
baru, sehingga upaya desentralisasi dianggap sebagai jalan yang paling tepat
untuk mewujudkan kesejahteraan dan pembangunan yang lebih merata. Dalam desain
tata kelola otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan sebagian kewenangan
untuk mengurusi pemerintahan agar relasi pembangunan dan pelayanan publik lebih
dekat kepada Masyarakat. Sehingga menurut Purwo Santoso (dalam Nugraha, 2022) mengungkapkan
bahwa penghayatan filosofi otonomi daerah tidak hanya dilakukan pejabat pemerintah,
melainkan masyarakat yang menjadi pemilik pemerintahan. Sementara berdasarkan
definisinya pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2023 Tentang Pemerintahan Daerah,
daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan definisi diatas
sebetulnya kita dapat menarik benang merah bahwa semangat desentralisasi melalui
otonomi daerah harus menghadirkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat
lokal dalam mengatur dan mengurus wilayahnya, tentu dengan berbagai cara dan
media yang ada. Pengurusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat lokal harus
berdasarkan aspirasi yang tumbuh di tengah masayarakat sehingga masyarakat dapat
merasa sebagai pemilik dari pemerintahan daerah. Proses demokrasi pada
pemerintahan daerah sejatinya ingin menghadirkan aspirasi lokal tersebut. Idealnya,
kepemimpinan yang hadir melalui proses demokrasi yang dipilih langsung oleh
rakyat dapat menjadi jembatan-mediator aspirasi lokal untuk diwujudkan dalam kebijakan
dan pembangunan daaerah.
Sementara Penjabat Kepala
Daerah baik Gubernur dan juga Bupati/Walikota merupakan PNS yang ditunjuk Presiden
melalui Kementerian Dalam Negeri dan sangat mungkin terjadi dalam
praktiknya tidak berasal dari daerah yang ia pimpin. Tentu hal ini merupakan
sebuah tantangan untuk menjawab semangat otonomi daerah bahwa pemerintah daerah
harus membawa aspirasi dan kepentingan lokal masyarakat setempat. Apakah dengan
segenap kemampuan teknokratik, administratif, dan manajerial birokrasi yang
dimiliki oleh seorang ASN mencukupi dalam memimpin sebuah pemerintahan daerah.
Menurut Dendy Raditya Atmosuwito
(dalam Arnazaye. F. K., dkk, 2023) Sistem pemilihan Penjabat Kepala Daerah saat
ini, yang ditunjuk langsung dari seorang teknokrat, tentu memiliki dampak yang
perlu diperhitungkan. Pemilihan berdasarkan kemampuan dan keahlian birokrat
merupakan hal yang positif. Jalannya pemerintahan akan terjamin dengan
terpilihnya sosok Penjabat Kepala Daerah yang telah lama mengetahui seluk beluk
pemerintahan. Gaya kepemimpinan yang rasional dan logis membuat kebijakan dapat
dijalankan secara objektif tanpa unsur kepentingan.
Walaupun seorang PNS yang
sudah lama berpengalaman dalam menjalankan fungsi pemerintahan, Penjabat Kepala
Daerah tetap memerlukan pendalaman terhadap aspirasi, semangat dan jiwa
masyarakat setempat dalam melaksanakan pembangunan. Dalam artian, terlebih jika
Penjabat Kepala Daerah bukan berasal dari wilayah setempat harus memastikan berjalannya
pemerintahan dilakukan dengan cara-cara teknokratik, tanpa ada beban
kepentingan politik, dan pembangunan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan
tujuan otonomi daerah itu sendiri, yaitu pemerataan kesejahteraan berdasarkan
semangat dan kultur budaya masyarakat setempat.
Menurut Firman Nugraha
(2022) tidak sedikit penyelenggara pemerintahan yang masih menganggap bahwa
pemerintahan adalah sebuah lembaga otoritatif yang feodalisik menganggkangi
masyarakat, alih-alih sebagai katalisator dan fasilatator pembangunan. Alhasil,
pembangunan daerah kerap kali menjadi agenda eksklusif yang tidak banyak melakukan
proses deliberasi kebijakan dengan rakyat.
Penjabat Kepala Daerah harus dibekali seperangkat kemampuan untuk menggerakan masyarakat dengan komunikasi publik yang baik. Sehingga masyarakat atau rakyat merasa bahwa mereka ikut terlibat dalam setiap proses pembangunan dan kebijakan, atau paling tidak mereka dapat memahami manfaat dari sebuah kebijakan yang di terapkan. Jangan sampai alih-alih memproduksi kebijakan yang sifatnya teknokratik akan tetapi abai terhadap kebutuhan masyakarat yang akan merasakan dampaknya. Seorang Penjabat Kepala Daerah harus keluar dari kultur tradisional birokrasi yang bekerja secara rutin dan konservatif. Paling tidak berikut beberapa seperangkat kemampuan yang harus dimiliki Penjabat Kepala Daerah untuk mengimbangi gaya kepemimpinan politik seorang kepala daerah :
- Kemampuan komunikasi publik yang baik
- Kemampuan membangun relasi
- Kemampuan menjadi mediator dan fasilitator dalam menampung aspirasi
- Kemampuan deliberasi dan kolaborasi yang baik, sehingga masyarakat mendapat peran
- Kemampuan komunikasi politik dalam membangun relasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
STUDI KASUS
Hingga akhir tahun 2023, paling tidak terdapat 271 Penjabat
Kepala Daerah dari semua tingkatan baik Gubernur maupun Kabupaten/Kota yang
telah dilantik. Penjabat Kepala Daerah ini kemudian akan dievaluasi dalam
setiap tiga bulan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait kinerja dan
target yang telah di tekankan. Berdasarkan pemberitaan dalam kompas.id Staf
Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga menyampaikan paling tidak terdapat
tiga aspek dalam penilaian kinerja Penjabat Kepala Daerah, yaitu pemerintahan,
kemasyarakatan, dan pembangunan yang kemudian diturunkan kedalam
indikator-indikator yang lebih detail.
Mengambil studi kasus bagaimana
Penjabat Kepala Daerah membuat kebijakan, penulis mencoba mengambil salah satu
contoh kebijakan yang dilakukan Penjabat Bupati Bogor dalam menangani penataan pedagang
yang mendirikan bangunan ilegal di sepanjang jalan Kawasan Puncak. Dimanapun,
setiap kebijakan penataan kawasan yang mengharuskan negara atau pemerintah
melakukan hard power seperti penggusuran dan relokasi merupakan
kebijakan yang tidak populis. Bahkan kebijakan yang tidak populis ini terkadang
dihindari oleh kepempimpinan politik demi menghindari clash dan
mendegradasi citra yang dapat mengakibatkan menurunnya penerimaan publik bahkan
elektabilitas politik.
Penggunaan hard power
oleh negara atau pemerintah yang memiliki unsur paksaan agar kebijakan itu
dapat terealisasi harus diimbangi dengan kemampuan soft power. Karena kebijakan
yang tidak popolis, alih-alih ingin menerapkan kebijakan secara teknokratis dengan menegakkan aturan, bahwa bangunan liar atau ilegal adalah salah, merusak
lingkungan (sampah), memicu kriminalitas, kemacetan, parkir dan pungutan liar.
Justru dikhawatirkan berdampak pada munculnya masalah baru yang berkepanjangan
yaitu kericuhan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Menghindari dampak buruk implementasi kebijakan penggusuran
dan relokasi Kawasan Puncak, Penjabat Bupati Bogor terlebih dahulu melakukan
beberapa langkah yang deliberatif sebagai berikut :
- Penjabat Bupati Bogor sudah
melakukan audiensi dengan pedagang yang akan di relokasi dan menyampaikan
keuntungan serta insentif yang akan diberikan kepada pedagang dengan
menggratiskan retribusi jangka waktu tertentu dilokasi relokasi yaitu Rest Area
Gunung Mas.
- Mengkoordinasikan dengan seluruh pihak terkait terutama Pemerintah Provinsi, Kementerian PUPR, bahkan hingga Presiden.
- Memimpin seluruh pejabat internal Pemerintah Kabupaten Bogor dalam pelaksanaan kebijakan
- Penjabat Kabupaten Bogor memimpin langsung proses penggusuran-relokasi, bahkan menemui dan berdiskusi dengan masa aksi yang menolak. (sumber detik.com)
Apa yang dilakukan Penjabat Bupati Bogor sebetulnya sudah menggambarkan bagaimana kebijakan teknokratik di implementasikan melalui gaya kepemimpinan politik-soft power. Dimana Penjabat Bupati Bogor melakukan upaya deliberatif dengan menjadikan masyarakat dalam hal ini pedagang untuk mau direlokasi atas dasar kesadaran. Kedua, Penjabat Bupati Bogor melakukan upaya membangun relasi dengan pihak eksternal diluar Pemerintah Kabupaten Bogor. Ketiga, Penjabat Bupati Bogor mencoba menerapkan gaya kepemimpinan yang transformatif dengan menjadi teladan, dimana dalam memotivasi dan memberikan perintah Penjabat Bupati Bogor turut terjun langsung ketika pelaksanaan relokasi. Tentu diatas pembahasan gaya kepemimpinan tersebut, yang perlu menjadi catatan adalah setiap kebijakan haruslah memberikan dampak rasa keadilan, misal dengan penggusuran dan merelokasi pedagang kecil jangan sampai justru kedepan adanya pemberian kemudahan izin para pemilik kapital untuk membangun bisnis dan usaha dikawasan puncak yang telah direlokasi.
Studi kasus kedua yang ingin penulis angkat yaitu bagaimana Penjabat Gubernur Jawa Barat melakukan transformasi dalam pergantian Komisaris dan Direksi di BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sudah mafhum dalam konteks politik, direksi dan komisaris sebuah BUMD merupakan jabatan politik yang acapkali menjadi lahan bagi-bagi jabatan bagi tim pendukung Kepala Daerah yang terpilih sebagai timbal-balik janji atau hutang politik.
Dalam melakukan pergantian Komisaris BUMD, Penjabat Gubernur
Jawa Barat dalam sebuah pemberitaan mengatakan bahwa ia tidak punya kepentingan
(pribadi) apapun dan hutang politik. Penjabat Gubernur Jawa Barat menginginkan
adanya perbaikan tata kelola BUMD dengan diisinya komisaris dan direksi dari
kalangan profesional. Bahkan langkah Penjabat Gubernur Jawa Barat juga
mendapatkan respon positif dari Komisi III DPRD Provinsi Jawa Barat dalam melakukan perbaikan tata kelola
di BUMD. (sumber www.inijabar.com).
Kedua studi kasus diatas memperlihatkan ciri kepemimpinan
teknokratik pada pemerintahan daerah. Dimana Kebijakan dilaksanakan atas dasar
teknokratik, aturan, dan profesionalitas. Hal-hal yang sifatnya berkaitan
dengan politik dan kepentingan kelompok tertentu lebih dikesampingkan. Akan
tetapi pendekatan politik, deliberasi yang melibatkan banyak pihak terutama rakyat
sangat perlu dan dibutuhkan ketika seorang pemimpin meng-implementasikan
kebijakan sebagaimana studi kasus yang pertama. Harapan luhurnya, kepemimpinan
teknokratik dengan deliberatif tersebut dapat memberikan rasa keadilan dan pemerataan kesejahteraan
dengan tidak mementingkan kelompok tertentu, misal konstituen atau tim kampanye
pada kepemimpinan politik.
MODEL KOMUNIKASI PENJABAT KEPALA
DAERAH
Tidak dibekalinya Penjabat Kepala Daerah seperangkat organisasi yang ditujukan untuk menampung aspirasi masyarakat sebagaimana pemimpin politik (partai politik). Dimana partai politik memiliki instrumen organisasi yang bisa menjangkau hingga akar rumput, dan juga adanya konstituen serta sangat wajar apabila memiliki jaringan sosial yang lebih luas. Maka Penjabat Kepala Daerah harus mampu menggali suara dan keinginan di masyarakat dari dalam dengan instrumen yang dimiliki di internal birokrasi. Perlu kiranya Penjabat Kepala Daerah melakukan pendekatan gaya kepemimpinan sebagai berikut :
- Penjabat Kepala Daerah perlu memastikan seluruh jajarannya, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik dan bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk melakukan pekerjaan yang proaktif, inovatif dan mendobrak rutinitas. Penjabat Kepala Daerah perlu memberikan contoh bagaiman birokrasi tidak bekerja secara rutin dan reaktif. Langkah ini dapat menjadikan organisasi pemerintahan atau birokrasi menjadi mata dan telinga dalam mendengar keinginan dan keluhan masyarakat. Dalam konteks Kabupaten atau Kota pejabat birokrasi bisa dikerahkan hingga tingkat Kecamatan (camat) dan Kelurahan (lurah), atau bahkan hingga unit yang lebih kecil dari itu.
- Penjabat Kepala Daerah harus memiliki tujuan dan arah yang jelas, Bahwa birokrasi-pemerintahan daerah di bangun atas visi pemerataan kesejahteraan sebagaimana amanat otonomi daerah. Sehinggi visi yang mulia itu akan membawa organisasi pemerintahan daerah tidak hanya mengejar capaian target kinerja yang sifatnya administratif. Visi yang ditujukan kepada kepentingan masyarakat/publik akan membangun kesadaran birokrasi untuk mendekatkan diri dengan masayarkat.
- Penjabat Kepala Daerah tidak sibuk membangun hubungan vertikal saja. Penjabat Kepala Daerah perlu membangun hubungan horizontal diluar aktor pemerintahan, yaitu kepada masyarakat yang sejatinya pemberi mandat, walaupun Penjabat Kepala Daerah ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, ia perlu menjadi fasilitator dan mediator masyarakat dalam menjaring aspirasi.
- di era digital, Penjabat Kepala Daerah perlu mengoptimalkan teknologi informasi dalam menjaring aspiraasi dan keluhan masyarakat terhadap kebijakan dan pelayanan publik. Sarana kontrol survei kepuasan masyarakat yang terkadang bias, perlu di komparasi dengan ulasan masyarakat yang secara spontan, genuine dan jujur di media sosial sebagai tolak ukur bayangan (shadow inikator) dalam kinerja pelayanan atau kebijakan publik.
ANALISIS KOMPARASI
KEPEMIMPINAN POLITIK DAN TEKNOKRATIK (SWOT ANALYSIS)
Sebagaimana
disamapaikan sebelumnya terdapat perbedaan ciri gaya kepemimpinan politik
dan gaya kepemimpinan teknokrat, idealnya sebuah pemerintahan perlu dipimpin
menggunakan kedua gaya kepemimpinan tersebut. Berikut analisis perbandingan
kedua gaya kepemimpinan politik dan kepemimpinan teknokratik menggunakan analisis
SWOT, dengan harapan kita dapat mengambil posisi yang tepat gaya kepemimpinan sesuai dengan zeitgeist zaman kedepannya dalam
setiap pengambilan kebijakan.
a.
Kepemimpinan Teknokrat
kekuatan (strengths) |
Kelemahan (weaknesses) |
peluang (opportunities) |
ancaman (threats) |
1.
Perencanaan Secara Detail 2.
Indikator dan Tujuan Kinerja yang Jelas 3.
Berlandaskan teknokratik,
ilmiah, ilmu pengetahuan 4.
Menuntut pada kebijakan yang
rasional dan dapat di implementasikan 5.
Tercatat rapih 6.
Bagus dalam perencanaan jangka
pendek 7.
Organisasi rapih dan sistem
komando |
1.
Cenderung bekerja rutin 2.
Fokus pada administratif bukan
substantif 3.
Invoasi terjadi lambat karena organisasi yang kaku 4.
Pengambilan kebijakan relatif
lamban karena dilakukan secara hierarkis 5.
Cenderung menghindari resiko |
1.
Pembangunan dilakukan secara bertahap
2. Secara administratitf evaluasi kinerja dapat diukur dengan
baik berdasarkan indikator yang ada
oleh pihak eksternal (masyarakt). 3.
Dapat melahirkan pemimpin yang
profesional dan memiliki kepakaran. 4.
Kurang mampu menggerakkan eksternal |
1.
Pelayanan publik pemerintah
sulit berkembang dan bersaing dengan swasta (seperti Rumah Sakit, Sekolah
dll) 2.
Pembangunan relatif lamban 3.
Mudah digerus perkembangan zaman
(biasanya pemerintah lamban dalam menghadapi perubahan, Contoh kasus gojek) |
b.
Kepemimpinan Politik
kekuatan (strengths) |
Kelemahan (weaknesses) |
peluang (opportunities) |
ancaman (threats) |
1.
Fokus pada ide dan gagasan 2.
Memiliki visi jauh kedepan 3.
Menggerakan organisasi dengan
cara motivasi, menggerakan dan deliberatif 4.
Fokus pada kebijakan yang
sifatnya substantif 5.
Organisasi lebih lincah dan fleksibel 6.
Pengambian Keputusan dilakukan
secara cepat |
1.
Lemah dalam hal perencanaan yang
detail 2.
Lemah dalam landasan teknokratik dan ilmiah, sehingga sulit
di implementasikan 3.
Organisasi cenderung kurang
rapih karena memungkinkan perubahan cepat 4.
Indikator dan tujuan cenderung
abstrak-deskriptif, sehingga sulit diukur |
1.
Cepat dalam merespon perubahan
dari luar. 2.
Pembangunan akan realtif lebih
cepat karena dorongan dari luar dan dalam 3.
Mampu menggerakan pihak
eksternal diluar pemerintahan |
1.
Pencapaian visi sulit diukur
oleh masyarakat dan bersifat subjektif 2.
Banyaknya unsur kepentingan
politik dan kelompok tertentu yang turut campur dalam pemerintahan 3.
Rentan terhadap penyelewengan
kewenangan. 4. Adanya kemungkinan menghadikran pemimpin yang tidak memiliki kompetensi |
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
BUKU
Nugraha. F., 2022. Agenda Paradigmatik Pembangunan Daerah. Semut API :
Yohyakarta
Martian, R. 2020. The 5.0 Leader. Litera Mediatama : Kota Malang
JURNAL
Ramanda.
D. E. Menata Ulang Kewenangan
Mengangkat Penjabat Kepala Daerah. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan
(JISIP), 2656-6753, p-ISSN: 2598-9944 (,2022) :Vol:6
Furaihan Kamyl Arnazaye Efektivitas. Pengangkatan
Penjabat Kepala Daerah dalam Perspektif Demokrasi dan Teknokrasi. Jurnal
Publik: Jurnal Ilmiah Bidang Ilmu Administrasi Negara, ISSN (2023) : 22579-9266 dan 1412-7083
ARTIKEL / LAMAN INTERNET
Husain Pontoh. C. Kutuk Herbert Faith, https://indoprogress.com/2006/01/kutuk-herbert-feith/,
2006
Dandy Idwal. Bentuk Lain Teknokrasi, https://pijak.id/2021/08/23/bentuk-lain-teknokrasi/
, 2021
BERITA
CNN Indonesia.
Deret Kepala Daerah Terjaring OTT KPK Sepanjang 2021. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211017125059-12-708868/deret-kepala-daerah-terjaring-ott-kpk-sepanjang-2021
Antara
News. Mendagri Sebut Lima Penjabat Kepala Daerah Terkena Kasus Hukum. https://www.antaranews.com/berita/4146162/mendagri-sebut-lima-penjabat-kepala-daerah-terkena-kasus-hukum
Kompas. Tanpa
Beban Politik Penjabat Kepala Daerah Bisa Bekerja Total https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/30/tanpa-beban-politik-penjabat-kepala-daerah-bisa-bekerja-total?open_from=Search_Result_Page
Detik. PJ
Bupati Bogor Asmawa : PKL di Puncak Direlokasi Bukan Di Gusur https://travel.detik.com/travel-news/d-7406967/pj-bupati-bogor-asmawa-pkl-di-puncak-direlokasi-bukan-digusur
Inilah.
PJ. Gubernur Jabar Rombak Seluruh Komisaris BUMD. https://www.inijabar.com/2024/05/pj-gubernur-jabar-rombak-seluruh.html